CERPEN- M. REDA A.
Kelas 11 dan Sebuah Keputusan
Pagi itu, kelas 11 IPS-3 tampak lebih ramai dari biasanya. Setelah beberapa minggu ujian tengah semester, suasana sekolah mulai kembali normal, meskipun stres ujian masih menghantui banyak siswa. Di tengah-tengah keramaian itu, Nadia duduk di bangkunya, menatap lembaran catatan di meja dengan perasaan campur aduk.
Sebagai siswa kelas 11, Nadia tahu bahwa tahun ini adalah tahun yang penting. Setelah lulus dari kelas 12 nanti, ia harus memilih jalur kehidupan yang akan membawanya ke masa depan. Sekarang, di tengah perjalanan itu, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang sulit.
Nadia bukanlah tipe siswa yang selalu tampil sempurna. Nilai-nilainya selalu cukup, tidak terlalu rendah, tetapi juga tidak terlalu tinggi untuk membuatnya menonjol di antara teman-temannya. Namun, belakangan ini, ia merasa tertekan dengan pilihan yang harus diambil—apakah ia harus mengikuti jejak teman-temannya yang sudah jelas memilih jurusan di universitas, ataukah ia akan mengikuti keinginan orang tuanya yang ingin ia masuk ke fakultas ekonomi?
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka, dan Pak Budi, guru sejarah mereka, masuk dengan langkah tegas. Siswa-siswa yang tadinya sibuk berbicara langsung diam dan memberi perhatian penuh. Pak Budi selalu mengajar dengan cara yang menarik, membuat topik-topik sejarah yang biasanya membosankan menjadi hidup dan penuh makna.
"Selamat pagi, kelas!" sapa Pak Budi ceria. "Hari ini kita akan memulai bab baru tentang Perang Dunia II. Tapi sebelum itu, saya ingin bertanya kepada kalian, siapa di sini yang sudah mulai memikirkan masa depan mereka? Apa yang ingin kalian lakukan setelah lulus sekolah?"
Satu per satu tangan terangkat, dan beberapa teman Nadia mulai berbicara tentang impian mereka—ada yang ingin menjadi dokter, insinyur, atau bahkan pengusaha muda. Nadia mendengarkan dengan seksama, tapi hatinya tetap merasa kosong. Ia tidak tahu apa yang ingin ia lakukan.
Pak Budi kemudian menunjuk Nadia yang terlihat sedikit ragu. "Nadia, bagaimana denganmu? Apa yang kamu impikan untuk masa depanmu?"
Semua mata tertuju pada Nadia. Ia merasa gugup, tidak siap untuk memberikan jawaban yang sempurna. Namun, ia menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.
"Sebenarnya, Pak, saya... masih bingung. Orang tua saya ingin saya masuk ke jurusan ekonomi, tapi saya merasa seperti tidak memiliki minat di sana. Saya lebih tertarik dengan seni, tapi saya takut jika itu tidak cukup untuk masa depan saya. Saya tidak ingin mengecewakan orang tua saya, tapi di sisi lain, saya merasa terjebak."
Pak Budi mendengarkan dengan cermat, lalu tersenyum. "Nadia, saya bisa mengerti perasaanmu. Terkadang, kita merasa terjebak antara keinginan orang lain dan keinginan diri sendiri. Tetapi, yang perlu kamu ingat adalah bahwa masa depanmu adalah milikmu. Orang tua memang bisa memberi saran, tapi keputusan akhir tetap ada padamu. Pilihan yang kamu buat harus yang terbaik untuk dirimu sendiri, bukan hanya berdasarkan apa yang orang lain inginkan."
Nadia terdiam, kata-kata Pak Budi seperti membuka mata hatinya. Tiba-tiba, ia merasa sedikit lebih lega. Ia sudah terlalu lama terfokus pada harapan orang lain dan lupa untuk mendengarkan suara hatinya sendiri.
Setelah pelajaran selesai, Nadia pergi ke perpustakaan sekolah untuk merenung. Di sana, ia duduk di sudut yang biasa ia pilih untuk membaca buku atau menulis catatan. Ia menulis di jurnalnya, mencoba mencari jawabannya sendiri.
"Apa yang aku inginkan? Apa yang benar-benar membuatku bahagia?"
Tiba-tiba, suara seseorang memecah kesunyian. Nadia menoleh dan melihat Sarah, sahabatnya yang juga duduk di kelas yang sama. Sarah tersenyum ramah dan duduk di sebelahnya.
"Nadia, kamu baik-baik saja?" tanya Sarah dengan lembut.
Nadia menghela napas panjang. "Aku masih bingung, Sarah. Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih. Orang tuaku ingin aku mengambil jurusan ekonomi, tapi aku ingin sekali belajar seni. Aku takut kalau aku memilih seni, orang tuaku kecewa."
Sarah mengangguk, memahaminya. "Aku mengerti, Nadia. Tapi, kamu tahu kan? Kita hanya punya satu hidup. Jika kamu mengikuti kata orang lain dan mengabaikan apa yang kamu inginkan, suatu saat nanti kamu akan menyesal. Cobalah pikirkan dengan hati-hati. Apa yang akan membuatmu merasa puas dan bahagia di masa depan?"
Nadia merenung. Kata-kata Sarah membuatnya berpikir lebih dalam. Ia sadar bahwa hidup bukanlah tentang memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi tentang mencari kebahagiaan dan kepuasan dalam diri sendiri.
Hari itu, Nadia membuat keputusan. Setelah pulang sekolah, ia akan berbicara dengan orang tuanya. Ia akan menjelaskan dengan tulus tentang apa yang sebenarnya ia inginkan, meskipun itu mungkin membuat mereka kecewa. Namun, ia tahu bahwa jika ia memilih jalan yang benar untuk dirinya sendiri, itu adalah langkah pertama menuju kebahagiaan yang sejati.
Kelas 11, tahun yang penuh dengan keputusan penting, akhirnya membawanya pada kesadaran bahwa pilihan hidup harus didasarkan pada apa yang ia yakini, bukan pada apa yang diinginkan oleh orang lain.
Dan dengan itu, Nadia merasa sedikit lebih siap menghadapi masa depannya.
Komentar
Posting Komentar