CERPEN-M. NAUFAL AZIZI

Perjalanan ke Jakarta

Hening masih menyelimuti pagi ketika kereta mulai bergerak dari stasiun kecil di kota Solo. Rifqi duduk di dekat jendela, menatap pemandangan sawah yang perlahan berganti dengan deretan rumah-rumah desa. Ini adalah pertama kalinya ia bepergian sejauh ini sendirian, menuju Jakarta—kota yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita orang-orang.

"Jakarta itu keras," begitu kata Pakde Wardi, tetangganya yang pernah tinggal di sana. "Kalau nggak siap, bisa-bisa kamu habis di sana."

Tapi Rifqi tidak takut. Ia membawa tekad, sebuah koper kecil, dan amplop cokelat berisi dokumen penting: surat panggilan kerja dari sebuah perusahaan di ibu kota. Ini adalah tiketnya untuk memulai hidup baru, jauh dari kampung halamannya.

Kereta terus melaju, membawa Rifqi melewati berbagai kota. Di sebelahnya duduk seorang bapak tua yang tampak ramah.

“Mau ke mana, Nak?” tanya si bapak, membuka percakapan.

“Ke Jakarta, Pak. Baru pertama kali,” jawab Rifqi.

Si bapak tersenyum. “Jakarta itu penuh tantangan, tapi juga banyak peluang. Kalau niatmu baik, pasti ada jalan.”

Kata-kata si bapak seperti doa yang menenangkan hati Rifqi. Percakapan mereka terus berlanjut hingga kereta mendekati stasiun terakhir.

Begitu tiba di Stasiun Gambir, Rifqi keluar dari gerbong dengan rasa takjub sekaligus gugup. Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuknya: suara klakson, langkah-langkah tergesa, dan udara panas yang berbeda dari angin sejuk Solo.

Ia menggeret kopernya keluar stasiun, berusaha mencari taksi yang akan membawanya ke tempat kos yang sudah ia pesan sebelumnya. Tapi taksi sulit ditemukan, dan akhirnya ia memilih naik bus. Di dalam bus, ia melihat berbagai wajah dengan cerita yang tak terucap: seorang ibu yang menggendong bayinya, seorang pekerja kantoran yang sibuk dengan laptop, dan seorang pedagang kaki lima yang membawa barang dagangannya.

Jakarta bukan hanya sebuah kota. Ia adalah panggung besar dengan jutaan aktor yang menjalani perannya masing-masing.

Hari pertama di tempat kos kecilnya, Rifqi merasakan keheningan yang asing. Ia duduk di tepi ranjang, menatap jendela kecil yang menghadap gang sempit. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba menyeruak—rindu pada rumah, pada ibu yang selalu membangunkannya dengan suara lembut, pada nasi goreng buatan bapaknya.

Tapi Rifqi menepis perasaan itu. Ia tahu, perjalanan ini adalah pilihannya. Ia datang ke Jakarta bukan untuk menyesali masa lalu, melainkan untuk membangun masa depan.

Hari-hari berikutnya di Jakarta penuh warna. Ia belajar menghadapi kemacetan, beradaptasi dengan ritme kerja yang cepat, dan menikmati makanan pinggir jalan yang tak pernah ia coba sebelumnya.

Suatu malam, setelah hari yang panjang di kantor, Rifqi berjalan kaki pulang ke kosnya. Lampu-lampu jalan menyala terang, dan angin malam berembus pelan. Ia berhenti sejenak di tepi jalan, memandang langit kota yang hampir tak berbintang.

Di tengah riuhnya Jakarta, Rifqi menemukan sesuatu yang tak ia duga: dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai tujuan, tapi juga tentang memahami makna setiap langkah yang ia ambil.

Dan di sana, di bawah langit Jakarta yang sibuk, Rifqi tersenyum. Ia tahu, ia sedang menjalani cerita hidupnya—cerita yang ia tulis dengan keberanian dan harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI-RIZQIANA KAMILA

RESENSI- TAUFIQUL HAKIM

RESENSI-HUMIDATI NUSROTID DINIYAH