CERPEN-KEZIA AZZAHRA ADI PUTRI

Datang dan Pergi

Bentuk syukur itu sangat beragam dan aku selalu berusaha mensyukuri segala sesuatu yang diberikan Tuhan padaku, sekecil apapun itu, contohnya sebatas uang yang aku temukan di kantong sendiri atau tentang aku yang sangat mensyukuri nama yang diberikan orang tuaku. Nama pemberian ibu 17 tahun yang lalu, Marina Kanara. Merupakan salah satu hal yang menjadi kesukaanku di dunia ini. Sehari-harinya, aku dipanggil dengan nama nara, lagi-lagi, aku menyukai hal itu. Bukannya terdengar sangat menggemaskan?

Aku menyukai laut, sama seperti ibuku yang juga jatuh cinta dengan laut sehingga menjadikan aku sebagai bukti akan kecintaannya dengan hal itu. Sampai di umur sekarang ini, aku telah mengunjungi hampir 30 pantai yang tersebar di Indonesia. Semua liburan dihabiskan di laut seolah opsi tempat hanya tentang laut. Ayahku bekerja di bidang pemerintahan dengan gaji yang mampu menghidupi kami lebih dari cukup. Namun, sangat disayangkan, ayah yang terlalu mengejar dunia dibuat gelap mata sampai akhirnya terkena kasus korupsi, semua disita, dalam waktu singkat, hidup kami dihempas dan kehilangan segalanya—termasuk ayahku. Ia meninggalkan kami bukan ke penjara, namun ke tempat paling atas, menembus awan. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan selembar surat yang kala itu dibasahi banyak air mata.

Namun, bukannya dunia memang berputar? Aku yang selalu di atas kini dibawa ke titik terbawah, sebab demikianlah konsep hidup. Apa aku mengeluh? Sama sekali tidak, aku hanya sedang menunggu saja, menunggu waktu dimana dunia akan membawaku ke titik atas. Entah kapan waktunya tiba, tidak ada yang tahu. Tapi, berharap bukanlah sebuah dosa. Segalanya hilang kecuali sepeda merah yang merupakan kado ulang tahun aku saat menginjak umur 16 tahun. Aku kehilangan segalanya, bahkan aku juga kehilangan rumahku beserta figurnya.

berbicara tentang rumah, rumah tak selamanya berbentuk bangunan dengan tembok kokoh. Terkadang, sebaik-baiknya rumah adalah dia yang menjadi tempat pulang, memberi hangat, dan menjadi pelindung. Lantas, jika orang yang disebut rumah itu pergi, apalah arti sebuah pulang? Pulang hanyalah sebatas kata yang melayang dan tak berarti. Aku bingung mendefiniskan kata pulang dan tak tahu rumah tempatku berlabuh. Waktu terus berjalan dan perjalananku seolah hanya terpaku di lingkaran, penuh dengan duri yang memberikan goresan pada tubuhku. Aku berdiri di atas kaki sendiri, seolah tertatih di gang sempit dengan lampu redup.

 Langit meraung sore itu, aku berdiri di depan semua bangunan dengan isi kepala yang juga ikut meraung. Terlalu dini bagiku mengerti kata ‘sakit’ sebab bangunan yang ada di depanku hanya tentang luka tanpa mau mempersembahkan pelangi. Aku si gadis kecil ini tersesat mencari jalan pulang, angin mengusik daun dengan kasar dan membawanya lepas dari ranting. Pikiranku kosong menatap luas bangunan yang pintunya baru saja aku buka. Kosong, apalah arti sebuah bangunan tanpa hangat di dalamnya? Layaknya Kutub Utara, tempat yang konon bernama rumah ini menyiksa dan setia menusuk tubuh mungilku.

Kaki mungil ini perlahan memasuki rumah, menuju kamar, dan kembali dibekap luka di sana. Hasil dari raungan langit menghasilkan pertemuan antara hujan dan tanah. Rindu hujan lepas seketika kala awan seolah bersorak melihat pertemuan mereka. Kini, di balik jendela, aku mampu melihat pertemuan itu. Sangat jelas, poros air itu melebur pada tanah untuk kemudian tersimpan dalam-dalam. Aku iri, ada yang tetap menunggu kepulangan awan yang mengantarkan air untuk kembali disimpan bumi—seperti itu; selalu ada yang menunggunya. Tak seperti diriku yang menyedihkan ini, tak ada yang menungguku pulang.

Perlu diketahui bahwa kini, aku juga telah kehilangan ibu sebab ibu yang kini seatap denganku bukan ibu yang selama ini aku kenal. Segala kekangan ia berikan, ia menuntut aku menjadi sosok yang sempurna, ia tidak lagi menyukai laut. Alasannya apa? Laut itu tempat ayah untuk mengakhiri hidup. Kini, ibu menghidupi aku si anak tunggal ini dengan berjualan kue. Meski demikian, aku sangat bersyukur sebab masih memiliki sosok yang mampu aku sebut sebagai seorang wali. Meski kala pulang ia akan berkutat di dapur dan menghiraukan hadirku seolah aku angin lalu. Kami bahkan sangat jarang berbicara, ada pun perbincangan yang tercipta itu selalu sepihak. Selalu dimulai oleh ibu dengan teriakan dan aku balas dengan anggukan.

Namun, jujur saja, kadang aku bingung mendefinisikan bentuk syukurku. Ini aku bersyukur atau hanya tengah mati rasa? Bahkan, kala ayah meninggalkan aku dengan rumah yang dikelilingi media, aku masih melongo seolah tengah menghadapi mimpi. Mari kuceritakan kala ayah meninggalkan aku dahulu, sejak awal sudah menjadi salahku, aku menjadikan ayah sebagai sandaran terbaik, padahal menjadikan manusia sebagai tempat bersandar sepenuhnya adalah sesuatu yang salah. Sebab, konsep hidup adalah manusia datang dan pergi, jadi kala manusia yang menjadi tempat bersandar itu pergi, maka, kita akan jatuh sejatuh-jatuhnya, tak tertolong dan terpuruk di titik paling bawah sampai nanti kamu memilih sendiri untuk bangkit. Bohong jika aku tak pernah sampai di titik jenuh, kadang pula aku berada pada masa dimana aku sulit mengambil langkah, namun kala hal itu terjadi akan ada ayah yang menjadi penopang di belakangnya, mendorongku pelan untuk melawan dunia yang sangat keras ini. Sosok yang aku sebut penopang itu benar-benar mampu menjadi sayap yang membawaku untuk terbang tinggi, menjadi tempat bersandar, dan menjadi segala-galanya. Bahkan jika semuanya pergi, ayah akan setia datang menawari pelukan layaknya rumah yang setia menawarkan hangat. Namun, sosok yang aku pikir akan selamanya ada itu juga mampu melangkah pergi, bertingkah egois, dan meninggalkan aku tersiksa di sini.

Pedih, aku merintih dengan sesak yang seolah menerkamku dari dalam. Sakitnya membuncah kala aku melihat sebuah gundukan tanah basah yang ditutupi kelopak bunga dengan bau air mawar yang masih menyengat. Aku menerima konsep datang dan pergi itu asal yang pergi bukan ayah. Namun, nyawa hanyalah titipan, sewaktu-waktu Tuhan akan mengambil titipan itu dan memang sudah waktunya ayah pulang—atau lebih tepatnya ayahlah yang memilih pulang. Kala itu semuanya telah pergi kecuali keluargaku dan aku pastinya. Kala itu, aku membekap luka, masih tak terima dengan realita yang ada. Saat orang meninggal, yang diuji itu bukan orang yang terlelap dalam tanah, namun yang diuji adalah mereka yang ditinggalkan, bagaimana ia menerima sebuah perpisahan sebagaimana takdir yang ada. Aku, ibu benar-benar diuji.

Dulu, aku selalu memuji besar milik ayah, tangannya seolah mampu menjadi perisaiku. Namun, pemilik tangan itu telah tiada, segala-galanya menjadi keruh dan hening yang menusuk hingga ke ulu hati. Aku merasa sendirian, bahkan ketika dikelilingi oleh begitu banyak orang yang ikut berkabung bersama. Sesak namun kini pipiku masih kering. Entah, hatiku seolah disayat-sayat, kepalaku seolah kacau balau, untuk pertama kalinya aku merasakan sakit sedalam ini hingga aku sulit memberikan respon, intinya hatiku kosong melompong. Aku sendirian dan kehilangan arah.

Dulu dan bahkan sampai sekarang, aku selalu mencoba untuk mengingat kapan terakhir kali aku memeluk ayah dengan erat. Mungkin sudah beberapa bulan lalu, mungkin saat perayaan ulang tahunku, atau mungkin suatu waktu yang tak masuk dalam ingatan. Aku benci membayangkan, karena sekarang semua hanya akan masuk di angan. Waktu itu aku berusaha meyakinkan diriku bahwa tidak apa-apa, itu sudah jalan yang ayah pilih, namun kala sadar bahwa tak akan ada lagi yang menggenggam tanganku, tak ada pula yang memberiku pelukan yang sehangat milik ayah, karena waktunya telah habis. Aku selalu mencoba mengingat kapan terakhir kali aku membuat hati ayah senang. Memuji ayah sebagai sosok yang sangat tampan agar ia lupa akan kerutan yang mulai menghiasi kelopak mata dan munculnya rambut putih yang dulu sukar aku temukan.

Pernahkah aku bertanya apa ayah lelah mengurus pekerjaan karena selalu dinas ke luar kota? Sudahkah aku menawarkan sebuah pijatan di bahu? Aku juga mencoba mengingat, seringkah aku membuat ayah khawatir karena tak membalas pesan ketika beliau bertanya. Aku kerap kali mengabaikan perhatian-perhatian yang dahulu terdengar seperti ocehan menyebalkan namun sekarang sangat aku butuhkan. Ayah mungkin gagal menjadi wakil rakyat, namun ayah tak pernah gagal menjadi ayahku. Ini juga salahku, ayah melakukan semua itu demi aku, demi membuatku bergelimang harta, sebab di mata ayah, mungkin bahagiaku harus selalu dilandasi materi. Ayah selalu bilang, “Ayah senang kalau putri satu-satu ayah senang.” Artinya memang benar, semua karena aku.

Lantas aku juga kerapkali mencoba menggali-gali kenangan berharap menemukan kembali ingatan akan suara ayah yang sangat lembut kala membangunkan diriku, kala ayah mengobrol dan setia menatap mataku. Namun, semua kacau, sulit untuk mendefinisikan kata kehilangan ketika dihadapkan langsung dengan keadaan itu. Dulu mungkin siapapun dapat bilang kalau efeknya adalah rasa sakit ... lalu mengapa yang aku rasakan hanya kekosongan yang tak ada habisnya? Bahkan untuk sekedar menangis itu sulit, air matanya tak kunjung turun.

Mengapa aku tak menangis kala ibu masih sibuk menghapus air mata bahkan ketika tangannya kotor, penuh dengan tanah. Nenek juga tampak sibuk menyapu batu nisan, ia menangis, menunjukkan pada dunia bahwa ia memang berkabung. Namun, mengapa air mata aku sama sekali tak jatuh? Ternyata, benar kata orang bahwa tingkat tertinggi dari luka yakni ditinggalkan orang tersayang. Intinya, dalam kehilangan yang melanda, ada ruang yang sangat kosong dalam dadaku. Sungguh berlubang dan membuat aku sesak dan sangat kosong melompong. Mungkin, aku tak pernah memperlihatkan tangis, namun di dalam sana, hatiku terkoyak dan sudah tidak bisa tertolong lagi. Karena inilah, aku lupa cara menangis.

Sakitku kian hebat kala melihat ibu yang masih berkabung dilempari dengan tatapan menusuk, aku sangat paham arti tatapan itu, Alhasil, meski ibu berubah sekarang, aku tak bisa menyalahkannya, sulit berdiri kala kehilangan penopang namun masih ditimpa berbagai macam masalah. Maka tak mengapa aku terluka, tak mengapa aku terseok-seok demi menjadi juara, sebab hanya itu yang bisa aku lakukan.

Kini, aku menepuk dadaku berulang kali, menghilangkan sesak yang ada di sana lantas beranjak membersihkan diri sebelum berakhir dalam alam mimpi meski jam masih menginjak angka tujuh. Sebelum tidur, aku akan selalu mendoakan ayah, semoga beliau beristirahat dengan tenang, juga berdoa untuk ibu, semoga ia selalu dikuatkan.

Lalu pagi menyapa kala ibu berteriak dengan kencang. “BANGUN, INI SUDAH JAM BERAPA!!”

Aku spontan terbangun, aku menyibak selimut dengan kasar dan melirik jam, terlihat jarum panjang sudah menyentuh angka enam. Dengan langkah sempoyongan, aku berjalan menuju kamar mandi sebelum akhirnya berangkat ke sekolah dengan sepeda merahku. Hanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk tiba di sekolah.

 “Hei anak koruptor! Aku dapat bocoran kalau aku jadi peringkat terakhir di kelas, artinya kamu gagal. Jangan-jangan semua jawaban kamu selama ini salah-salah?” tanya gadis yang bernama Jeje itu.

“Karena di dunia ini nggak ada yang instan. Kalian menuntut mendapatkan nilai baik tanpa usaha dan mengandalkan otak aku padahal kalian semua punya otak. Lawakan macam apa itu?” jawabku yang entah darimana aku mendapatkan keberanian.

“Wah … kamu melawan ternyata,” kata Jeje sembari tersenyum, senyum yang menyiratkan makna buruk.

“Je, hati-hati dengan bajunya. Jangan sampai ketahuan sama orang-orang. Usahakan bajunya tidak terkena kotoran dan semacamnya,” kata Mila sembari bersandar di pintu.

Aku menerima pukulan demi pukulan. Aku tak akan mengadu sebab buat apa? Aku yang kini berada di titik bawah suaranya tak akan didengar. Cukup pasrah saja, toh aku sudah dipastikan akan kembali menjadi juara kelas.

Memang benar, setelah menetralkan perasaanku, aku kini berjalan menuju kelas yang kala itu menerima rapor, jangan harapkan kedatangan ibu, sebab mustahil ia akan datang. Setelah itu, aku langsung pulang . Sepeda merah itu terus aku kayuh sampai sore tiba. Tebing terlihat, laut menyapa mata, lantas angin menyambut dengan menyapu wajah dan memainkan rambut.

Aku sangat merindukan laut, lihat hamparan laut di depan sana. Aku tertantang, rindu ini tumpah ruah lantas aku datang dengan kecepatan kencang membelah angin. Aku menghitung dalam hati. Satu, dua, tiga … tubuhku melayang masih bersama dengan sepeda merah milikku. Angin dibelah dengan kencang sebelum aku dipeluk erat oleh laut yang tengah bermain bersama ombak. Hangat, laut masih sehangat dulu.

Dalam rengkuhan laut, semua kenangan buruk berputar membuat air mataku meluruh begitu saja. Ini air mata pertama yang aku lepaskan semenjak berada di titik ini. Aku bahkan bisa merasakan tamparan yang selama ini ibu berikan kala ia melampiaskan emosinya. Tubuhku juga mampu mengingat berbagai macam luka yang diberikan para perundung termasuk dengan luka yang aku ciptakan sendiri. Semua itu berputar bak kaset rusak.

Lantas, kala semua perlahan gelap, aku mampu merasakan memori baik datang. Kala ayah memberikan kecupan saat mengantarku sampai di depan gerbang sekolah, kala ibu menyajikan sebuah nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Semua itu berputar dengan indah mengantar aku ke laut terbawah. Pikiran gila ini sudah lama datang dan hari ini, di umurku yang ke-17 tahun, aku mewujudkan kegilaan ini. Maka, aku akan bertemu ayah, isi kepalaku menjanjikan sebuah pertemuan jika aku melakukan hal gila ini. Tak mengapa, mungkin ibu akan menangis sebentar saja sampai akhirnya ia akan sadar bahwa konsep hidup memang demikian, “Manusia datang dan pergi.”

“Ibu, aku pamit. Ayah, aku datang.”

Demikianlah aku berakhir, aku hanya rindu dan aku melepaskan rindu. Tak perlu menghakimiku. Kalian cukup berdiri di depan cermin dan melihat diri, juga mengingat lisan kalian yang sempat menyayat hatiku. Jangan pernah lupa bagaimana pukulan yang kalian beri meninggalkan bekas di tubuh dan di hatiku. Aku pergi karena itu, aku mencari hangat karena itu.

TAMAT

Kalian pikir aku akan berakhir tragis seperti itu? Sayangnya tidak. Sepertinya Tuhan memberikan aku kesempatan kedua untuk kembali merasakan kehidupan, untuk melihat dunia lebih luas. Aku ingat, tubuhku terbaring lemah di ruangan yang dipenuhi alat-alat medis yang asing bagiku. Di sana, suara isak tangis ibuku terdengar jelas, seperti melodi yang memukul jantungku pelan namun dalam. "Nak, bangunlah... Ibu mohon," katanya sambil menggenggam tanganku erat, seolah tidak ingin aku pergi.

Lalu, di antara gelap dan heningnya kesadaran, aku melihat sosok ayahku. Ia berdiri di sana, dengan tatapan lembut yang penuh kasih, seperti yang biasa ia tunjukkan ketika aku masih kecil. "Putri kecilku," katanya. "Tolong jangan menyerah. Ayah selalu di sini, meski kamu tak bisa melihatku."

Itu adalah momen di mana aku sadar, bahwa aku tidak benar-benar sendiri. Kehangatan ibu, kata-kata ayah, bahkan semua rasa sakit yang pernah kurasakan—semuanya adalah pengingat bahwa hidup ini masih pantas diperjuangkan. Ketika aku terbangun, ibu menangis lagi, tapi kali ini air matanya bercampur dengan senyuman. Ia memelukku erat, memulihkan kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupku.

Namun aku sadar, hidup tidak selalu seperti itu. Manusia datang dan pergi, begitu pula dengan waktu. Ada yang tinggal dan mengisi ruang di hati kita, ada pula yang pergi meninggalkan luka. Ayahku, misalnya, tak lagi hadir secara fisik, tapi kehadirannya dalam kenangan cukup untuk membuatku kuat. Dan ibu—aku tahu suatu hari aku juga harus merelakannya, seperti aku belajar menerima kehilangan yang lain. Begitulah hidup, penuh pertemuan dan perpisahan.

Tapi, dari semua itu, aku belajar sesuatu. Kehidupan tidak berhenti pada mereka yang datang dan pergi. Kehidupan ada di antara momen-momen itu—di senyum yang kau berikan, di langkah yang kau ambil, dan di keberanianmu untuk terus bergerak maju meski rasa sakit mencoba menarikmu ke belakang.

Kepada kalian yang membaca ini, izinkan aku mengatakan sesuatu. Kehidupan adalah perjalanan yang indah meski tak sempurna. Orang-orang akan datang, mengajarkan kita cinta, pengorbanan, atau bahkan rasa sakit. Namun, tidak apa-apa. Karena dari situ, kita belajar tumbuh. Kita belajar menghargai hidup yang tidak abadi ini.

Jangan menyerah hanya karena seseorang pergi atau karena hari terasa begitu gelap. Hidup selalu menawarkan kesempatan kedua—entah melalui orang baru yang datang, harapan yang terbit, atau kekuatan yang tiba-tiba kita temukan dalam diri sendiri. Jalani hidup dengan keberanian untuk menerima, melepas, dan mencintai. Karena manusia datang dan pergi, tapi hidupmu tetaplah milikmu untuk dijalani dengan penuh makna.

Olla amigos, nama saya Kezia Azzahra Adi putri lahir di Denpasar pada tanggal 17 november 2007. Saat ini saya melakukan pendidikan di MA almaarif singosari

Salah satu hobi saya adalah menulis, maka dari itu cukup berkesan bagi saya bisa menyelesaikan karya cerpen orisinil saya untuk tugas bahasa indonesia!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI-RIZQIANA KAMILA

RESENSI- TAUFIQUL HAKIM

RESENSI-HUMIDATI NUSROTID DINIYAH