CERPEN-DZAKY LINDUNG

AKU KAMU DAN SENJA

Senja selalu punya cara untuk mengingatkanku padamu. Pada hari-hari yang kita lewati bersama, di bawah langit yang sama, namun tak pernah benar-benar sama. Seperti senja yang selalu berubah warna, begitu juga perasaan kita—kadang merah menyala, kadang redup seperti cahaya yang tak mampu menembus langit mendung.

Aku dan kamu, kita bertemu dalam kebetulan yang tak pernah kita rencanakan. Saat itu, aku duduk di bangku taman, sendirian, menikmati sisa-sisa sore yang tak pernah benar-benar bisa disebut siang. Kamu datang, tanpa suara, seperti angin yang tidak pernah bisa kita tangkap. Tanpa sadar, kita mulai berbicara, lalu berbicara lebih banyak lagi, hingga senja menjadi saksi dari setiap kata yang terucap antara kita.

Pada awalnya, aku tidak tahu apa yang membuatku begitu tertarik padamu. Mungkin karena caramu melihat dunia dengan mata yang penuh tanya, atau senyummu yang selalu membuat waktu terasa melambat. Setiap kali kita berbicara, aku merasa seperti aku menemukan bagian dari diriku yang hilang. Dan di sana, di antara percakapan kita yang sederhana, senja selalu hadir—melukis langit dengan warna yang begitu lembut, seolah ikut merayakan setiap detik yang kita habiskan bersama.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa perasaan ini semakin kuat. Aku mencintaimu, meski aku tidak pernah mengatakannya. Aku hanya bisa memandangmu dengan diam, menyimpan semua rasa itu dalam ruang yang hanya aku yang tahu. Seperti senja yang datang perlahan, cinta ini tumbuh perlahan, meski tak pernah jelas apakah akan ada fajar yang mengikutinya.

Kita pernah duduk berdua, di tempat yang sama, menatap langit yang sama. Senja itu, langitnya begitu indah, penuh dengan gradasi warna jingga dan ungu yang tak pernah bisa dijelaskan. Kamu bercerita tentang impian-impianmu, tentang perjalanan yang ingin kamu tempuh, dan aku mendengarkan dengan penuh perhatian, berharap agar waktu berhenti, agar kita bisa tetap berada dalam momen itu, dalam keindahan yang tak akan pernah terulang.

Tetapi, di dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak bisa kita ubah. Kamu memiliki jalan hidupmu sendiri, begitu banyak mimpi yang ingin kamu capai, sementara aku hanya bisa berdiri di sisi, menjadi penonton dalam cerita hidupmu. Aku tahu, kita hanya bisa menikmati senja bersama, namun tak bisa saling memiliki. Cinta ini, sepertinya, hanya akan menjadi kenangan yang terukir di langit sore—indah, tetapi sebentar.

Hari demi hari, senja itu datang lagi, dan aku selalu menunggumu di tempat yang sama. Tapi kali ini, senja tak lagi secerah dulu. Ada kabut yang menutupi langit, dan aku tahu, itulah pertanda. Kamu mulai menjauh, seperti senja yang perlahan tenggelam ke balik cakrawala. Aku tahu, itu adalah akhir dari sebuah cerita yang hanya bisa kita kenang, tanpa bisa kita ulang.

Pada suatu senja yang sepi, aku kembali duduk di bangku taman yang sama, sendirian, seperti hari-hari sebelum kita bertemu. Langit sudah mulai gelap, tetapi aku tidak merasa takut. Aku merasa damai, meski ada rasa yang masih tertinggal—rasa yang tak pernah terucapkan. Senja mengajarkanku banyak hal, salah satunya adalah bahwa ada cinta yang datang untuk mengajarimu, meski tidak untuk dimiliki.

Aku, kamu, dan senja—kita adalah bagian dari sebuah cerita yang tidak perlu dipaksakan. Seperti senja yang indah meski hanya bertahan sebentar, cinta kita juga hadir untuk mengajarkan arti keindahan dalam keberpisahan. Senja mungkin akan tenggelam, tetapi kenangannya akan tetap ada, tak akan hilang meskipun waktu terus berjalan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI-RIZQIANA KAMILA

RESENSI- TAUFIQUL HAKIM

RESENSI-HUMIDATI NUSROTID DINIYAH