CERPEN-ALFIA FERNANDA
Jejak Langkah Kita
Pagi itu, langit di kota kecil mereka tampak cerah, tetapi udara masih terasa dingin. Rina duduk di bangku taman dekat sekolah, matanya menatap kosong ke arah aliran sungai yang mengalir pelan di bawahnya. Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu, dan ia merasa kebingungannya semakin dalam. Satu-satunya hal yang ia inginkan saat itu adalah berbicara dengan Nina, sahabatnya sejak kecil.
Nina dan Rina selalu bersama, melalui tawa dan tangis, melewati masa-masa sulit dan bahagia, bahkan saat mereka memasuki dunia SMA yang baru. Namun, beberapa hari yang lalu, Nina tiba-tiba menjauh. Mereka tidak lagi duduk bersama, tidak lagi berbicara di kelas, dan yang lebih menyakitkan, Nina mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman baru. Rina merasa ada yang salah, tetapi dia tidak tahu apa. Kenapa Nina berubah? Apa yang telah terjadi?
Tiba-tiba, seseorang duduk di samping Rina. Suara lembut yang sangat dikenal membuat Rina menoleh, dan di sana, dengan senyum canggung, duduklah Nina.
“Aku pikir, kamu nggak akan datang,” kata Rina dengan nada yang sedikit tertekan.
Nina terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku... aku minta maaf, Rina. Aku tahu aku sudah menjauh, dan aku nggak bisa menjelaskan semuanya dengan mudah.”
Rina menunduk, menunggu Nina untuk melanjutkan.
“Nggak mudah bagi aku, Rin,” lanjut Nina. “Beberapa hari yang lalu, aku merasa sangat bingung. Aku... aku merasa seperti kehilangan diri sendiri. Teman-teman baru di sekolah membuatku merasa berbeda, seperti ada harapan baru untukku, dan aku nggak tahu harus bagaimana dengan pertemanan kita. Aku takut kalau aku berubah, kamu nggak akan menerima aku lagi."
Rina menatap Nina dengan mata penuh kebingungan dan rasa sakit. "Kenapa kamu nggak bilang? Kenapa harus menjauh?”
Nina menggigit bibirnya, “Aku kira aku bisa menyelesaikannya sendiri, tapi ternyata... aku salah. Aku takut kalau aku berbicara, kamu akan merasa aku tidak lagi menjadi sahabatmu yang dulu. Aku takut kalau kamu nggak bisa menerima perubahan aku.”
Rina terdiam sejenak, pikirannya berkecamuk. Namun, setelah beberapa detik, ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Nina. "Nina, kamu adalah sahabatku. Tidak ada yang berubah. Kita mungkin akan berubah, kita mungkin akan tumbuh, tapi itu nggak berarti kita harus menjauh. Kamu bisa berbicara dengan aku, selalu. Kita bisa melewati ini bersama."
Nina menatap Rina dengan mata berkaca-kaca. "Kamu benar. Aku terlalu takut untuk kehilangan kita. Tapi aku sadar, aku nggak bisa sendirian menghadapi semua ini. Kita sudah melewati banyak hal bersama, Rin. Aku nggak bisa kehilanganmu hanya karena ketakutanku sendiri."
Rina tersenyum dan menarik Nina dalam pelukan singkat. "Tidak ada yang perlu ditakutkan, Nina. Persahabatan kita bukan tentang tidak berubah, tapi tentang bisa tetap ada satu sama lain meskipun kita berubah. Kita akan menemukan cara untuk menjalani ini bersama."
Sejak saat itu, Nina dan Rina mulai berbicara lebih banyak lagi. Mereka saling berbagi ketakutan, harapan, dan impian mereka. Nina belajar untuk lebih jujur tentang perasaannya, sementara Rina menjadi pendengar yang baik. Meskipun ada banyak hal baru yang harus mereka hadapi—perubahan, teman baru, bahkan keinginan yang berbeda—persahabatan mereka tetap kuat, seperti akar yang tumbuh dalam tanah yang subur.
Dan meskipun hidup membawa mereka ke jalan yang
berbeda-beda, Rina dan Nina tahu bahwa persahabatan mereka adalah sesuatu yang
lebih besar dari segala perbedaan yang ada. Itu adalah fondasi yang tak
tergoyahkan, sebuah ikatan yang tumbuh dan bertahan meski waktu terus berlalu.
Jejak langkah mereka yang pernah tertinggal di pasir kini menjadi jejak yang
menguatkan mereka untuk terus melangkah bersama, menuju masa depan yang penuh
dengan kemungkinan.
Komentar
Posting Komentar